Kasus kekerasan yang melibatkan senior terhadap junior di lingkungan TNI kembali terulang dengan tragis. Terbaru, Prada Lucky Chepril Saputra Namo, seorang prajurit berusia 23 tahun, meninggal dunia setelah diduga mengalami penganiayaan oleh rekan-rekannya di barak.
Peristiwa ini terjadi di Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Waka Nga Mere yang terletak di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Prada Lucky, yang baru saja dua bulan berdinas, meninggal pada Rabu, 6 Agustus 2025, setelah berjuang melawan cedera serius di rumah sakit setempat.
Pangdam IX/Udayana, Mayjen TNI Piek Budyakto, mengonfirmasi bahwa sudah ada 20 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Selain itu, ia menyatakan bahwa salah satu tersangka adalah seorang perwira yang diduga terlibat dalam tindakan penganiayaan yang merenggut nyawa Prada Lucky.
Kejadian ini memicu respons cepat dari pihak TNI untuk menyelidiki lebih lanjut. Piek juga menyatakan bahwa proses pemeriksaan masih berjalan, melibatkan Detasemen Polisi Militer (Denpom) dan Kodam Udayana untuk memastikan keadilan bagi korban.
Menyesali kejadian yang menghilangkan prajurit muda ini, Pangdam berjanji akan mengambil tindakan tegas sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kejadian semacam ini menunjukkan perlu adanya perhatian khusus terhadap kesejahteraan dan keselamatan anggota TNI.
Tragedi yang Memicu Panggilan untuk Perubahan di TNI
Kasus ini tidak hanya menjadi duka bagi keluarga dan rekan-rekan korban, tetapi juga mengundang perhatian masyarakat luas akan kondisi di dalam institusi militer. Pertanyaan tentang budaya kekerasan di kalangan anggota TNI kembali mengemuka.
Budaya senioritas yang kerap diakui sebagai penyebab terjadinya kekerasan di internal TNI harus segera ditanggulangi. Penganiayaan seperti ini berpotensi merusak citra TNI sebagai institusi yang profesional dan disiplin.
Akuntabilitas dalam tubuh militer perlu diperkuat dengan langkah-langkah preventif yang lebih efektif. Tindakan kekerasan antaranggota tidak boleh dianggap sebagai hal yang lumrah dalam proses latihan militer.
Pangdam Udayana menekankan komitmennya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan mengusut tuntas kasus ini, diharapkan menjadi sinyal bagi perubahan budaya dalam lingkungan TNI.
Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan institusi militer menjadi salah satu cara untuk menekan kasus serupa di masa depan. Kerjasama ini penting agar anggota TNI mendapatkan perlindungan dan rasa aman dalam menjalani tugasnya.
Menyikapi Budaya Kekerasan di Lingkungan Militer
Budaya kekerasan dalam institusi militer sering kali dipicu oleh praktik-praktik lama yang terus diwariskan. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi anggotanya.
Penguatan norma dan nilai-nilai positif dalam institusi harus menjadi prioritas untuk mencegah kekerasan. Pelatihan tentang dampak dari penganiayaan dan edukasi untuk semua anggota harus diterapkan secara konsisten.
Beberapa negara telah berhasil mengubah budaya kekerasan menjadi kultur yang lebih inklusif. Dengan menerapkan program-program reformasi yang berhasil, TNI bisa pula meneladani langkah positif tersebut.
Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas antara senior dan junior juga penting. Dengan cara ini, hubungan saling menghormati bisa terjalin, mengurangi kemungkinan terjadinya penganiayaan.
Keterbukaan dalam komunikasi antaranggota juga memegang peranan penting. Anggota TNI harus merasa nyaman untuk melaporkan kekerasan tanpa takut akan reperkusi, hal ini penting untuk mendorong transparansi dalam institusi.
Pentingnya Penyuluhan dan Pendidikan Kesehatan Mental di TNI
Kesehatan mental anggota TNI menjadi isu yang sering diabaikan. Penanganan masalah kesehatan mental harus menjadi perhatian utama untuk mencegah tindakan kekerasan.
Penyuluhan tentang pentingnya kesehatan mental, dan cara mengidentifikasi gejala masalah emosional harus diterapkan. Program pendidikan seperti ini akan membantu anggota memahami pentingnya menjaga kesehatan mental masing-masing.
Keterlibatan psikolog profesional dalam setiap satuan militer perlu ditingkatkan. Kehadiran mereka dapat membantu anggota dalam menghadapi tekanan psikologis yang sering dihadapi selama pelatihan atau tugas.
Pendidikan mengenai pengelolaan stres dan teknik mengatasi konflik dapat diberikan. Dengan demikian, anggota tidak hanya terlatih secara fisik tetapi juga secara emosional.
Kesejahteraan anggota menjadi cerminan daripada kekuatan institusi itu sendiri. Dengan menjaga kesehatan mental dan fisik, TNI akan menjadi institusi yang lebih kuat dan berdaya saing tinggi.